Cristiano Ronaldo adalah bintang dengan masa yang panjang. Ketika
final Piala Eropa 2004, Ronaldo yang masih berusia 19 tahun sudah
menjadi bintang. Setelah final itu, performa apik Ronaldo konsisten. Dan
kini, setelah 12 tahun, ketika Ronaldo dihadapkan pada final Piala
Eropa lagi, kualitasnya tidak pudar sedikitpun, justru semakin menanjak.
Saat
final 2004 lalu, saya menonton di pesantren. Pertandingan tersebut
merupakan pertandingan pertama sekaligus terakhir di Piala Eropa 2004
yang saya tonton. Anak pesantren, tidak boleh menonton televisi, dan
ketika Piala Eropa hanya diperbolehkan nonton pertandingan final.
Meski
tak menonton pertandingan demi pertandingan Piala Eropa, tapi umumnya
anak pesantren tahu siapa yang menjadi bintang. Kami membacanya dari
koran yang ditempel di dinding pesantren. Dan ketika final itu,
perhatian tertuju kepada si belia Ronaldo dan seorang rekannya yang
kelak menjadi legenda Portugal dan Real Madrid: Luis Figo.
Sayangnya,
pertandingan dua tim guram dari dataran Eropa itu tidak dimenangkan
oleh Ronaldo. Portugal kalah oleh Yunani. Sialnya, Yunani setelah
mencetak satu gol menerapkan strategi ultra defensif. Pemain portugal
menyerang terus, tapi selalu gagal. Kita pun melihat Ronaldo frustasi.
Dia sesekali bergoyang samba, melakukan shooting, heading, tapi semuanya gagal berbuah gol.
Ketika
Portugal kembali lolos ke babak final di Piala Eropa 2016, saya
teringat final 12 tahun silam itu. Banyak hal yang saya ingat. Kenangan
menonton dari televisi kecil dengan berdesak-desakan, isu kalau Yunani
menang dengan cara mistis karena di tempat inilah bercokol banyak dewa,
dan yang paling saya ingat adalah ketika Ronaldo menangis setelah
pertandingan usai.
Saya lantas mencari-cari video itu dari
Youtube. Bayangan saya saat Ronaldo menangis masih sama dengan yang ada
di video. Sambil berjalan gontai, air mata Ronaldo jatuh. Sesekali dia
bersihkan air matanya dengan kaus.
Di video itu, permainan Ronaldo
yang belia tidak jauh berbeda dengan Ronaldo sekarang. Gesit, menyisir
dari sayap kanan dan kiri. Bedanya, Ronaldo ketika itu masih sering
goyang samba. Mungkin dia terinspirasi dari Ronaldo lain dari Brasil.
Kini, kita jarang melihat goyang samba Ronaldo. Mungkin dia ingin lebih
efektif dalam mengeluarkan tenaga di lapangan.
Ronaldo menangis,
dan Portugal kalah. Tapi kita saat itu tetap bangga kepada Ronaldo, dan
juga pemain lain di Portugal. Mungkin, kebanggaan ini jugalah yang
dirasakan seorang anak muda Indonesia bernama Martunis. Hingga pada
suatu hari di bulan Desember atau beberapa bulan setelah Final Piala
Eropa 2004, Martunis memakai baju timnas Portugal dengan nama Rui Costa.
Sesaat
sebelum pergi ke lapangan untuk bermain bola, Martunis di hantam
tsunami. Belakangan, tsunami di Aceh dan Mentawai tersebut menelan
korban ratusan ribu orang. Martunis, menjadi salah satu keajaiban
tsunami setelah dia masih hidup meski terapung 21 tahun di laut lepas.
Martunis
yang ketika selamat mengenakan baju Portugal sontak menghebohkan
masyarakat Portugal. Bahkan, dia diundang khusus ke Portugal dan
mendapatkan penghargaan dari Presiden FIFA saat itu, Sepp Blatter.
Kemudian, dia dijadikan anak angkat oleh Ronaldo.
Kekaguman anak
pesantren kepada Ronaldo semakin memuncak ketika dia berkunjung ke
Indonesia. Dia menemui Martunis. Ronaldo oleh sebagian orang mungkin
dianggap arogan di lapangan, tapi sikapnya yang menjadikan Martunis
sebagai anak angkat menyisahkan decak kagum. Apalagi, Martunis hidup
sebatangkara setelah kedua orang tuanya dan saudaranya meninggal dunia
karena tsunami (ralat: tinggal hidup bersama ayahnya).
Lalu
bagaimana dengan final di Piala Eropa 2016? Momen final ini bisa jadi
bukan final terakhir bagi Ronaldo. Dengan kualitas yang tidak kunjung
meredup, Ronaldo bisa saja bermain sampai berumur 40 tahun. Jika benar,
Ronaldo masih akan pensiun sembilan tahun lagi.
Tapi, ini momen
yang tepat bagi Ronaldo untuk tidak lagi menangis di babak final.
Apalagi, ada mitos siklus 12 tahunan di Piala Eropa. Setiap 12 tahun
sekali, selalu ada tim guram yang jawara Piala Eropa. Pada 1992,
Denmark, tim dengan kultur sepak bola ala kadarnya menjadi jawara. Lalu
pada 2004 Yunani yang keluar menjadi jawara.
Sebenarnya, pada
semifinal lalu tim nasional Wales sempat diunggulkan untuk merebut mitos
itu. Tapi sayang, di semifinal tim ini kalah dari Portugal. Karena
Wales sudah gugur, tim yang berpeluang meraih siklus 12 tahunan ini
adalah Portugal. Dibanding Prancis, Portugal tak lebih
diunggulkan. Selain belum pernah menjadi juara Piala Eropa apalagi
dunia, Penampilan Portugal pada Piala Eropa kali ini masuk dalam
kategori penampilan dari kesebelasan tim guram.
Jika siklus 12
tahunan ini terulang, maka tahun ini bisa dibilang tahunnya Ronaldo.
Setelah gol-nya di semifinal lalu, Ronaldo menyamai rekot Michael
Platini yakni mencetak sembilan gol di Piala Eropa. Selain itu, dengan
jawara Piala Eropa, Ronaldo otomatis sudah melampui seteru abadinya
Lionel Messi yang terbilang gagal di tim nasional.
Selama ini,
Messi memang selalu membayang-bayangi karier Ronaldo. Lihat saja
penghargaan FIFA Ballon d’Or atau penghargaan pemain terbaik dunia dalam
lima tahun terakhir. Messi dapat tiga, Ronaldo dapat dua.
Dengan
kasus penggelapan pajak yang sedang membelit Lionel Messi, kemenangan
Portugal bisa menjadi kemenangan telak bagi Ronaldo atas Messi. Ini juga
akan membuktikan kalau Ronaldo tidak pernah menyesal di lahirkan di
Portugal yang jarang sekali meraih tropi turnamen antar negara. Kali
ini, kita ingin melihat Ronaldo tersenyum membawa trofi, tidak menangis
sambil membasuh air mata dengan kausnya. Semoga.
*Penulis adalah wartawan, tinggal di www.irhamthoriq.com. Akun Twitter: @irham_thoriq
foto:britasatu
No comments:
Post a Comment