Monday, July 11, 2016

Kemenangan Portugal, Kemenangan Ronaldo

Cristiano Ronaldo adalah bintang dengan masa yang panjang. Ketika final Piala Eropa 2004, Ronaldo yang masih berusia 19 tahun sudah menjadi bintang. Setelah final itu, performa apik Ronaldo konsisten. Dan kini, setelah 12 tahun, ketika Ronaldo dihadapkan pada final Piala Eropa lagi, kualitasnya tidak pudar sedikitpun, justru semakin menanjak.

Saat final 2004 lalu, saya menonton di pesantren. Pertandingan tersebut merupakan pertandingan pertama sekaligus terakhir di Piala Eropa 2004 yang saya tonton. Anak pesantren, tidak boleh menonton televisi, dan ketika Piala Eropa hanya diperbolehkan nonton pertandingan final.
Meski tak menonton pertandingan demi pertandingan Piala Eropa, tapi umumnya anak pesantren tahu siapa yang menjadi bintang. Kami membacanya dari koran yang ditempel di dinding pesantren. Dan ketika final itu, perhatian tertuju kepada si belia Ronaldo dan seorang rekannya yang kelak menjadi legenda Portugal dan Real Madrid: Luis Figo.
Sayangnya, pertandingan dua tim guram dari dataran Eropa itu tidak dimenangkan oleh Ronaldo. Portugal kalah oleh Yunani. Sialnya, Yunani setelah mencetak satu gol menerapkan strategi ultra defensif. Pemain portugal menyerang terus, tapi selalu gagal. Kita pun melihat Ronaldo frustasi. Dia sesekali bergoyang samba, melakukan shooting, heading, tapi semuanya gagal berbuah gol.
Ketika Portugal kembali lolos ke babak final di Piala Eropa 2016, saya teringat final 12 tahun silam itu. Banyak hal yang saya ingat. Kenangan menonton dari televisi kecil dengan berdesak-desakan, isu kalau Yunani menang dengan cara mistis karena di tempat inilah bercokol banyak dewa, dan yang paling saya ingat adalah ketika Ronaldo menangis setelah pertandingan usai.
Saya lantas mencari-cari video itu dari Youtube. Bayangan saya saat Ronaldo menangis masih sama dengan yang ada di video. Sambil berjalan gontai, air mata Ronaldo jatuh. Sesekali dia bersihkan air matanya dengan kaus.
Di video itu, permainan Ronaldo yang belia tidak jauh berbeda dengan Ronaldo sekarang. Gesit, menyisir dari sayap kanan dan kiri. Bedanya, Ronaldo ketika itu masih sering goyang samba. Mungkin dia terinspirasi dari Ronaldo lain dari Brasil. Kini, kita jarang melihat goyang samba Ronaldo. Mungkin dia ingin lebih efektif dalam mengeluarkan tenaga di lapangan.
Ronaldo menangis, dan Portugal kalah. Tapi kita saat itu tetap bangga kepada Ronaldo, dan juga pemain lain di Portugal. Mungkin, kebanggaan ini jugalah yang dirasakan seorang anak muda Indonesia bernama Martunis. Hingga pada suatu hari di bulan Desember atau beberapa bulan setelah Final Piala Eropa 2004, Martunis memakai baju timnas Portugal dengan nama Rui Costa.
Sesaat sebelum pergi ke lapangan untuk bermain bola, Martunis di hantam tsunami. Belakangan, tsunami di Aceh dan Mentawai tersebut menelan korban ratusan ribu orang. Martunis, menjadi salah satu keajaiban tsunami setelah dia masih hidup meski terapung 21 tahun di laut lepas.
Martunis yang ketika selamat mengenakan baju Portugal sontak menghebohkan masyarakat Portugal. Bahkan, dia diundang khusus ke Portugal dan mendapatkan penghargaan dari Presiden FIFA saat itu, Sepp Blatter. Kemudian, dia dijadikan anak angkat oleh Ronaldo.
Kekaguman anak pesantren kepada Ronaldo semakin memuncak ketika dia berkunjung ke Indonesia. Dia menemui Martunis. Ronaldo oleh sebagian orang mungkin dianggap arogan di lapangan, tapi sikapnya yang menjadikan Martunis sebagai anak angkat menyisahkan decak kagum. Apalagi, Martunis hidup sebatangkara setelah kedua orang tuanya dan saudaranya meninggal dunia karena tsunami (ralat: tinggal hidup bersama ayahnya).
Lalu bagaimana dengan final di Piala Eropa 2016? Momen final ini bisa jadi bukan final terakhir bagi Ronaldo. Dengan kualitas yang tidak kunjung meredup, Ronaldo bisa saja bermain sampai berumur 40 tahun. Jika benar, Ronaldo masih akan pensiun sembilan tahun lagi.
Tapi, ini momen yang tepat bagi Ronaldo untuk tidak lagi menangis di babak final. Apalagi, ada mitos siklus 12 tahunan di Piala Eropa. Setiap 12 tahun sekali, selalu ada tim guram yang jawara Piala Eropa. Pada 1992, Denmark, tim dengan kultur sepak bola ala kadarnya menjadi jawara. Lalu pada 2004 Yunani yang keluar menjadi jawara.
Sebenarnya, pada semifinal lalu tim nasional Wales sempat diunggulkan untuk merebut mitos itu. Tapi sayang, di semifinal tim ini kalah dari Portugal. Karena Wales sudah gugur, tim yang berpeluang meraih siklus 12 tahunan ini adalah Portugal. Dibanding Prancis, Portugal tak lebih diunggulkan. Selain belum pernah menjadi juara Piala Eropa apalagi dunia, Penampilan Portugal pada Piala Eropa kali ini masuk dalam kategori penampilan dari kesebelasan tim guram.
Jika siklus 12 tahunan ini terulang, maka tahun ini bisa dibilang tahunnya Ronaldo. Setelah  gol-nya di semifinal lalu, Ronaldo menyamai rekot Michael Platini yakni mencetak sembilan gol di Piala Eropa. Selain itu, dengan jawara Piala Eropa, Ronaldo otomatis sudah melampui seteru abadinya Lionel Messi yang terbilang gagal di tim nasional.
Selama ini, Messi memang selalu membayang-bayangi karier Ronaldo. Lihat saja penghargaan FIFA Ballon d’Or atau penghargaan pemain terbaik dunia dalam lima tahun terakhir. Messi dapat tiga, Ronaldo dapat dua.
Dengan kasus penggelapan pajak yang sedang membelit Lionel Messi, kemenangan Portugal bisa menjadi kemenangan telak bagi Ronaldo atas Messi. Ini juga akan membuktikan kalau Ronaldo tidak pernah menyesal di lahirkan di Portugal yang jarang sekali meraih tropi turnamen antar negara. Kali ini, kita ingin melihat Ronaldo tersenyum membawa trofi, tidak menangis sambil membasuh air mata dengan kausnya. Semoga.


 *Penulis adalah wartawan, tinggal di www.irhamthoriq.com. Akun Twitter: @irham_thoriq

foto:britasatu

No comments:

Post a Comment